Saat ini, kebanyakan KUD di Kab. Cianjur tinggal papan nama atau tidak diketahui rimbanya. Banyak gudang KUD yang biasa disebut gudang lantai kios (GLK), tempat penampungan padi petani, kondisinya terbengkalai. Bahkan, di beberapa tempat sama sekali raib. Banyak pula yang beralih fungsi, seperti menjadi warung milik perorangan.
Dominasi KUD pada ranah ekonomi perdesaan, khususnya di kalangan petani pada tahun 1970-an, kini meredup. Institusi ekonomi wong cilik ini nyaris dilupakan orang. Padahal, pada masa keemasannya KUD memiliki fungsi strategis untuk menciptakan ketahanan pangan.
Berdasarkan data dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kab. Cianjur, pada tahun 1970-an berdiri 72 KUD. Pendirian KUD ini didasarkan pada potensi pertanian di satu wilayah. Akan tetapi, pada tahun 1980-an dan 1990-an institusi ekonomi perdesaan yang dipayungi hukum Inpres No. 2/1973 tentang Badan Usaha Unit Desa (BUUD) ini menyusut menjadi 56 KUD. Sesudah reformasi 1997/1998 semakin menciut menjadi 36 KUD saja.
Keberadaan 36 KUD ini pun, menurut Kasie Kelembagaan Koperasi Nonfungsional Dinas Koperasi dan UKM Kab. Cianjur Bambang Eko, berdasarkan rapat anggota tahunan (RAT), hanya enam (6) KUD yang masih aktif, yakni KUD Cipanas (Kec. Cipanas), KUD Tanjung Harapan (Kec. Karangtengah), KUD Marga Mukti (Kec. Sukaluyu), KUD Satria Jaya (Kec. Ciranjang), KUD Pelita Jaya (Kec. Pagelaran), dan KUD Campaka Mekar (Kec. Campaka).
"Ukuran RAT, artinya secara hukum koperasi masih berjalan dan secara fakta pun masih melaksanakan kegiatan usaha," ujar Bambang di ruang kerjanya, Selasa (19/2). Dia pun menyatakan dari enam KUD ini, hanya dua yakni KUD Cipanas dan KUD Tanjung Harapan yang mendekati status KUD ideal.
Diakuinya, melempemnya eksistensi KUD saat ini berdampak pada usaha para petani. Mereka sering kelimpungan saat berhadapan dengan masalah pupuk atau melorotnya harga jual padi ketika panen tiba. Menurut Bambang, para petani ibarat anak kehilangan induknya. Padahal, sebelumnya KUD menjadi sandaran para petani dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya. Sebab, aneka persoalan yang dihadapi para petani bisa dipecahkan melalui KUD.
"Kalau sekarang kita tidak swasembada pangan, hal itu sebuah kewajaran. Karena dengan mengecilnya jumlah KUD melemah pula proteksi atau perlindungan terhadap para petani dalam menjalankan usaha taninya," ungkap Bambang.
Misi utama lahirnya KUD, kata Bambang, ketahanan pangan. Misi ini terwujud melalui tiga instrumen yakni penyelenggaraan Kredit Usaha Tani (KUT), penyediaan pupuk, dan penyediaan pangan. Oleh karena itu, Bambang menegaskan, agar swasembada pangan terulang kembali, KUD harus diberdayakan kembali atau direvitalisasi.
Menurut dia, perlunya revitalisasi KUD sebagai salah satu upaya strategis dalam menciptakan swasembada pangan, sudah dipahami para pejabat di tingkat nasional. Pada rapat Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang dipimpin Ketua Umum Dekopin Adi Sasono serta dihadiri mantan Kabulog Bustanil Arifin, belum lama ini, disepakati perlunya membangkitkan kembali peranan KUD.
Disadari Bambang, banyak faktor yang menyebabkan KUD terpuruk, antara lain sumber daya manusia (SDM) pengelola KUD relatif rendah, termasuk integritas moral. Minimnya integritas moral di kalangan pengelola KUD ini menimbulkan kekurangpercayaan publik terhadap KUD. "Terlebih saat ini kebijakan pemerintah pun kurang berpihak pada KUD," katanya.
Bambang setuju kalau pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan kebijakan untuk memberdayakan lagi KUD. Melalui pemberdayaan KUD, swasembada pangan akan tercipta kembali. Para petani pun, kata Bambang, tak bakal dipusingkan dengan urusan produksi padi maupun pemasarannya. Pihaknya, tutur dia, tahun 2007 berusaha melaksanakan program revitalisasi KUD. Namun, hasilnya tidak bisa serta merta mengembalikan kejayaan KUD seperti tempo dulu.
Banyak kendala yang mesti dihadapi. Misalnya, masih melekat citra yang tidak sedap dari masyarakat terhadap KUD akibat ulah oknum pengurus KUD. Namun, dia meyakini bahwa KUD bisa dihidupkan lagi dengan semangat baru serta didukung kebijakan pemerintah serta keinginan kuat dari masyarakat itu sendiri. "Di negara maju saja para petani tetap diproteksi, kenapa kita malah membiarkannya," ujarnya.
Mengangkat citra
Disinyalir, terpuruknya kondisi KUD lebih banyak disebabkan oleh merosotnya mental pengelola atau pengurus KUD. Menurut Harry M. Sastrakusumah, dari Bidang Advokasi dan Sosialisasi Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Kab. Cianjur, keberpihakan pemerintah pada masa Orde Baru terhadap KUD di satu sisi menggairahkan usaha ekonomi para petani, namun di pihak lain, mendorong pengelola atau pengurusnya berbuat korup. "Saking korupnya, ada pelesetan bahwa KUD adalah singkatan dari ketua untung duluan," kata Harry.
Citra KUD kian melorot hingga titik nadir ketika ikut-ikutan terlibat dalam program Kredit Usaha Tani (KUT) pada tahun 1990-an, yang belakangan diketahui tidak beres. Akibatnya, muncul kekurangpercayaan dari masyarakat terhadap KUD. KUD yang semula pengayom para petani, ungkap Harry, malah menilep hak-hak petani.
Akan tetapi, kata Harry, keterpurukan KUD bukan berarti institusi ini harus dibiarkan. KUD harus terus diberdayakan, terutama saat ini ketika swasembada pangan digiatkan kembali. "Kalau ada tikus, cukup tikusnya saja yang dilumpuhkan, tidak perlu membakar rumahnya," ucapnya.
Sayangnya, tutur Harry, saat ini belum ada keberpihakan dari Pemkab Cianjur terhadap KUD. Pemkab malah mendirikan institusi ekonomi kerakyatan baru yang disebut Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) atau Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP). Padahal, sepengetahuan Harry, kedua institusi ekonomi ini tidak jelas payung hukumnya.
0 komentar
Posting Komentar