CianjurNEWS(25/12) Penguasa Hindia Belanda pada tahun 1917 membangun stasiun radio di derah Rancaekek Bandung, Jawa Barat. Mulai tahun 1918 pemerintah Hindia Belanda membangun lapangan terbang Cipagalo, Sukamiskin dan juga masih di wilayah Bandung. Membuatnya hanya meratakan tanah dan dipekeras. Peresmian penggunaan lapangan terbang pada tahun 1920, ditandai dengan penerbangan sebuah pesawat Rancai. Terbangnya hanya beberapa menit setinggi 50 meter.
Berhubungan keadaan tanah becek tidak dapat diperkeras dengan sempuma, maka Belanda membuat landasan baru lagi di daerah Cicukang Desa Cibeureum yang kemudian terkenal dengan sebutan Lapangan Terbang Andir, karena tempatnya di daerah Andir pula. Kemudian lapangan terbang ini digunakan untuk kepentingan Angkatan Udara Belanda (Luchvaart Afdelling).
Lapangan terbang dibangun pada tahun 1921, di tanah seluas 45 hektar, semula milik rakyat yang dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunannya masih sangat sederhana, hanya diratakan dan diprkeras tanpa dilapisi aspal. Kemudian peralatan lapangan terbang yang ada di Sukamiskin berangsur-angsur dipindahkan ke Andir. Seiring itu dibangun fasilitas pendukungnya. Beberapa bangunan pendukung saat itu, sekarang tinggal bekasnya, Satu diantara kini menjadi hanggar Wing Materiil 10 yang menghadap ke Utara. Garasi yang sekarang dipakai untuk Sarban, Kantin Perwira Belanda sekarang dipakai untuk ruang pemotretan. Kantor Pos dan gudang panjang bekasnya kini tempat di belakang Tower. Bangunan Staf Komando jaman dahulu sekarang digunakan untuk Senkom.
Pada waktu dibangun batas lapangan terbang Andir sebelah Barat berbatasan dengan desa Cibeureum, sebelah Timur berbatasan dengan sungai Cilimus, sebelah Utara Desa Cibogo, sebelah Selatan rel kereta api daerah Maleber. Beberapa pesawat pertama yang mendarat di lapangan Terbang Andir zaman itu diantaranya Avro, Glenmartin, Jeger, dan Koelhoven.
Penyerahan Lapangan Terbang Andir.
Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia, sebelum penyerahan kedaulatan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan pada tanggal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di kota Gravensande Belanda telah dicapai kesepakatan prinsip mengenai peraturan-peraturan Angkatan Udara di Indonesia yang ada di bawah komando Belanda, setelah peresmian pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Ternyata dalam waktu yang hanya enam bulan, pihak AURI benar-benar menunjukkan kesanggupan serta kemampuannya dalam merealisasikan tugas negara. Setelah berlangsungnya pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949, maka berlangsung pula serah terima pangkalan-pangkalan udara secara berangsur-angsur. PAU Andir merupakan yang pertama diserahterimakan dan Belanda ke pihak AURI, yakni pada tanggal 20 Januari 1950. Hanya saja, serahterima tersebut hanya berlaku bagi PAU Andir sebelah utara. Sedangkan PAU Andir sebelah selatan barn diserahterimakan pada tanggal 12 Juni 1950.
Setelah itu disusul secara berturut-turut penyerahan pangkalan-pangkalan udara yang ada di daerah lain, yakni PAU Padang (1 Maret 1950), PAU/Detasemen Angkatan Udara Banjarmasin (15 Maret 1950), PAU Semplak Bogor (20 Maret 1950), PAU Semarang (23 Maret 1950), PAU Singosari Malang (17 April 1950), PAU Medan dan 121-ste Skadron Pemburu (18 April 1950), PAU Palembang (25 April 1950), PAU Kupang NTT (6 Mei 1950), Pau Morotai Maluku (10 Mei 1950), PAU Makassar (2 Juni 1950), PAU Cililitan serta 20-ste Skadron Angkatan Udara dan 18-de Skadron Pelempar Bom (20 Juni 1950).
Selain itu, diserahkan juga Hoofdkwartier Militaire Luchtvaar dan Jenderal Mayoor Van der EEM kepada Kasau Komodor Udara Suryadarma pada tanggal 27 Juni 1950.
Serahterima Pangkalan Udara Andir sendiri sudah berlangsung ada Maret 1950. Namun masih bersifat terbatas, terutama yang diserahkan adalah lapangan sebelah Utara, meliputi fasilitas penerbangan, termasuk hanggar, tiga pesawat C-47 Dakota, tiga pesawat latih Harvard dan tujuh pesawat Piper Cub (Capung). Sedangkan serah tenima keseluruhan Pangkalan Udara Andir kepada pihak AURI baru dilakukan tiga bulan kemudian yakni pada tanggal 12 Juni 1950. Serah terima dilakukan Mayor E,J. Van Kappen mewakili pemerintah Kerajaan Belanda dan dan pihak AURIS diwakili Mayor Udara Wiweko Soepono yang menjabat sebagai Ketua Sub Panitia Penerimaan Materiil dan Personel dari ML Belanda sekaligus wakil AURI.
Perjuangan Husein Sastranegara
Husein Sastranegara adalah salah seorang diantara tokoh-tokoh yang ikut serta mengabdikan dirinya dalam pembinaan perjuangan bersenjata pada masa-masa revolusi fisik, khususnya di bidang pertahanan udara. Namun sangat disayangkan bahwa semangat pengabdian dan kesediaan berkorban sebagai Patriot Tanah Air tidak bisa berlangsung lebih lama. Almarhum hanya dapat menyumbangkan tenaganya bagi perjuangan kemedekaan Indonesia dalam waktu setahun lebih sedikit ini berarti hanya dalam waktu lima bulan saja saat setelah Angkatan Udara RI resmi didirikan. Meskipun kesempatan untuk berbakti kepada tanah air yang dicintainya begitu pendek, tidaklah menghilangkan nilai-nilai jasa perjuangannya, terutama dalam masa-masa berkecamuknya perjuangan fisik mati-matian menghadapi agresi Belanda.
Semasa hidupnya Husein sastranegara telah memberikan teladan yang tak ternilai kepada generasi penerus, baik di bidang kejuangan, kemauan yang keras dalam menggapai cita-cita, maupun tekadnya yang kuat untuk mengetahui dan menguasai teknologi penerbangan pada masanya. Kekerasan kemauan dan tekadnya serta kerelaan berkorban demi perjuangan telah tercermin dalam diri Husein sastrnegara. Pandangan-pandangannya yang jauh ke depan ikut meletakkan pondasi yang penting untuk pembangunan Angkatan Udara, yang kelak menjadi pancangan kaki kokoh dalam pengembangan suatu kekuatan Angkatan Udara yang modern di kemudian hari.
Siapa sebenarnya Husein Sastranegara.
Husein Sastranegara merupakan anak seorang Pangreh Praja, dilihat dan latarbelakang keluarga, Husein Sastranegara adalah keturunan ningrat Priangan dan golongan menengah Bumiputera. Baik dari pihak ayah maupun ibu, sehingga teralir darah biru ke dalam diri Husein dan 13 saudaranya yang lain. Ayah Husein, Rd. Demang Ishak Sastranegara adalah seorang pangreh praja (Demang) jaman Belanda dan pernah menjabat sebagai Wedana Ujungberung, Pejabat Bupati di Tasikmalaya selama 17 bulan dan Patih Tasikmalaya. Sang ayah adalah putera tinggal Rd. Askad sastranegara, seorang Onder Collecteur Pensiun Sumedang. Sedangkan ibunya, Rd. Katjih Lasminingroem, putri Rd. Wiranata, Onder Collecteur Pensiun Cicalengka. Mereka menikah di Kadungora Garut pada tanggal 16 Oktober 1907.
Beberapa catatan sejarah terdapat perbedaan dalam penulisan tempat dan tanggal kelahiran Husein, namun berdasarkan catatan Yayasan Wangi Demang Sastranegara disebutkan bahwa Husein dilahirkan di Cilaku Cianjur pada tanggal 20 Januari 1919, sebagai anak ke delapan dari 14 bersaudara. Kondisi lingkungan keluarga dan jamannya, terutama dengan status pekerjaan orang tua pejabat di lingkungan pemerintahan Hindia Belanda, memberi pengaruh kuat pada cara pandang dan gaya hidup pemuda Husein. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pada saat itu anak-anak dari keluarga kelas menengah Bumiputera memiliki gaya hidup yang lebih dan untuk menjadi militer tentunya berat untuk menuju ke hal yang ideal.
Cara pandang dan gaya seperti itu tidak selalu berdampak buruk. Justru memberi mamfaat positif pada diri Husein. Misalnya ia sama sekali tidak dihinggapi perasaan rendah diri (inferiority complex) yang biasanya menjadi persoalan tersendiri bagi warga pribumi, terutama jika berhadapan dengan orang-orang Belanda. Bahkan, sisi positif lainnya adalah terbentuknya sosok pemuda Husein dengan cita-cita dan angan-angan yang sangat tinggi. Menurut keterangan istri Bapak Husein, Ny. Koriyati Mangkuratmaja, cita-cita beliau adalah ingin menjadi seorang perwira. Keinginan itu bermula Husein sekolah di Europese Lagere School (ELS) di Bandung setingkat Skolah Dasar (SD) di jaman sekarang. Setelah itu Husein melahjutkan ke Hager Burger School (HBS) di Bandung, yang kemudian pindah ke HBS KWDRI di Jakarta. Begitu lulus HBS tahun 1939, Husein menjadi mahasiswa di Technisch Hoge School (THS) di Bandung (sekarang ITB).
Pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939 berdampak langsung pada nasib sekolah dengan perjalanan hidup Husein. Belanda menduduki Jerman, menyadari posisinya itulah pemerintah Hindia Belanda menerapkan siasat “menarik Simpati” rakyat Indonesia dengan memberi kelonggaran kepada pemuda Indonesia mencoba karier hidupnya di bidang penerbangan militer. Kesempatan tersebut ditanggapi sebagai peluang bear yang menjanjikan oleh Husein. Tanpa ragu Husein pun mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliahnya dan mendaftarkan diri ke sekolah Militaire Luchtvaart School atau disebut juga Luchtvaart Afdeling di Kalijati, Subang tahun 1939. Husein termasuk salah satu dan 10 orang pemuda pribumi yang diterima untuk mengikuti pendidikan perwira penerbang.
Pada tahun itu sebenarnya ada peristiwa sejarah penting yang digabungkannya Sekolah Penerbang yang berlokasi di Kalijati Subang dengan Sekolah Pengintai di Lapangan Andir Bandung. Dari 10 orang siswa yang masuk, hanya lima orang yang berhasil mendapat brevet penerbang, yakni Husein Sastranegara, Ignatius Adisutjipto, Sambodja Hurip, Sulistiyo dan Sujono. Kelima orang siswa penerbang akhirnya menjadi perintis dalam dunia penerbangan di tanah air, selanjutnya proses pendidikan angkatan pertama itu berakhir tahun 1940.
Sayangnya, Husein gagal meneruskan pendidikan penerbang lanjutannya di Bandung. Bersama dengan dua orang rekannya, yakni Sujono dan Sulistyo, Husein hanya mendapat KMB (Kielne Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan peawat-pesawat bermesin tunggal Sedangkan yang mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet) hanya Agustinus Adisutjipto dan Sambudjo Hurip.
Mengawali Karir sebagai Inspektur Polisi
Karena kurangnya syarat tersebut, maka rencana semula untuk memasuki Sekolah Penerbang Darurat di Bandung menjadi terhalang. Kegagalan tersebut menyebabkan Husein ganti haluan dan pada tahun 1941 memasuki pendidikan Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi. Sementara itu Jepang telah ikut mengambil bagian dalam Perang Dunia yang mulai mengadakan ekspansi-ekspansi ke Asia Tenggara dan akhirnya bisa menduduki Indonesia. Setelah kurang lebih dua tahun mengikuti pendidikan inspektur Polisi (Keibuhoo) dan menginat kebutuhan Jepang saat itu, meski belum lulus, Husein langsung diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi.
Husein kemudian dipindahkan menjadi Kepala Polisi di Sukanagara Cianjur dan menjelang proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Husein dipindahkan lagi sebagai Kepala Polisi di Bogor. Bisa dikatakan, karir militer Husein dalam pengabdiannya sebagai pejuang dan kusuma bangsa dimulai dari jalur kepolisian. Menyerahnya balatentara Jepang kepada Sekutu yang kemudian disusul dengan pergolakan revolusi fisik, menjadikan Husein harus menggabungkan diri dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) di Bogor dan menjabat sebagai salah satu komandan pada divisi yang dibentuk oleh Didi Kartasasmita. Tetapi pertentangan yang terjadi antara dirinya dengan atasannya menyebabkan Husein mengundurkan diri dari kesatuan tersebut dan memasuki kesatuan BKR Bandung bagian Resimen Kuda yang belum diorganisir. Perjalanan hidupnya tampaknya menggariskan Husein harus kembali ke jalur penerbangan. Sekitar bulan September-Oktober 1945 Husein dipanggil oleh Suryadi Suryadharma (KSAU) yang waktu itu sebagai pimpinan BKR Penerbangan. Pemanggilan itu berkaitan dengan kebutuhan mengurus Lapangan Udara (Lanud) Andir (sekarang Lanud Husein Sastranegara) yang baru saja berhasil direbut para pejuangan RI. Husein dipercaya untuk mengurus Lapangan Uara Andir.
Hijrah Ke Yogyakarta
Sayangnya, tugas itu belum sempat dilaksanakan oleh Husein. Karena, baru saja Husein melapor ke Kasau Suryadarma, beredar kabar bahwa Lapangan Udara Andir dapat dikuasai kembali oleh tentara Jepang dan pimpinan diambil alih oleh Inggnis melalui Jepang. Tidak saja Lapangan Udara Andir, Bandung pun harus ditinggalkan para pejuangan RI, termasuk Husein di dalamnya, Husein akhirnya ikut hijrah ke Ibu Kota perjuangan Yogyakarta dan turut bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan.
Di Yogyakarta inilah mulai disusun dan dibina pertahanan kekuatan udara. Pada waktu itu tenaga penerbang dirasakan sangat dibutuhkan. Ketika sekolah penerbang pertama kali dibuka, Husein termasuk salah seorang dan siswanya. Mereka berasal dan berbagai pendidikan mulai dari pemilik brevet sampai kepada mereka yang belum pernah terbang sama sekali. Dengan bermodalkan tekad yang sama, berusaha untuk ikut serta menjadi pejuang dalam memperkuat pertahanan tanah air tercinta.
Pada tanggal 9 April 1946 TKR bagian Penerbangan statusnya diubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang berdiri sendiri. Setelah selesai mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) di Yogyakarta, Husein langsung diangkat sebagai instruktur di sekolah penerbang tersebut merangkap sebagai perwira operasi AURI.
Pada periode tahun 1945-1946 AURI masih sibuk dengan “penerbitan” materiil yang berupa pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang dan sementara waktu belum ada upaya yuntuk melakukan operasi-operasi yang bersifat ofensif penyerangan. Konsolidasi ke dalam dilakukan dengan mengadakan hubungan-hubungan udara melalui pangkalan-pangkalan yang sudah dikuasai RI. Dalam hubungan inilah Husein sangat aktif dalam menerbangkan dan mencoba pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang seperti Churen (sering disebut juga dengan Cureng), Cukiu. Dan pesawat pembom Hayabusha Diponogoro 1 Pada tanggal 21 Mei 1946 Husein telah mengadakan penerbangan formasi dari Lapangan Udara Maguwo di Yogyakarta menuju lapangan Udara Gorda di Serang. Pada tanggal 10 Juni 1946 penerbangan formasi lima buah pesawat Churen dan Yogyakarta ke Cibeureum Tasikmalaya dalam rangka peresmian pembukaan lapangan terbang tersebut juga penerbangan lebih jauh ke Barat dilakukannya pada tanggal 23 Juni 1946 sampai ke lapangan Gorda di Banten (Serang). Dengan pesawat Pembom Diponogoro 1 Husein pernah pula terbang dari Maguwo Yogyakarta ke Maospati (Madiun) dan bahkan pada tanggal 13 September 1946, Husein masih menerbangkan pesawat Churen untuk menaburkan bunga dalam upacara pemakaman Tarsono Rujito di Salatiga.
Gugur Saat Test Flight
Takdir Tuhan Yang Maha Esa telah menggariskan Husein. Belum juga tahun 1946 berakhir, Husein telah dipanggil menghadap-Nya. Waktu itu tanggal 26 September 1946 dengan pangkat terakhir sebagai Mayor Udara. Sebelum kejadian sebenarnya telah ada suatu isyarat jelek yang diterima oleh kakak tertuanya dalam sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, Husein dengan salah seorang saudara laki-lakinya, yakni Rd. Ibrahim Satranegara, terapung-apung hanyut di tengah-tengah gelombang lautan yang deras. Akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan kedua orang putera Rd. Ishak Sastranegara ini gugur dalam perjuangan bangsanya.
Pada akhir September 1946 Husein mendapatkan tugas melakukan Test Flight (uji terbang) sebuah pesawat Chukiu di atas Kota Yogyakarta. Pesawat rongsokan peninggalan tentara Jepang itu rencananya akan digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri RI Sutan Syahrir menuju Malang. Test Flight saat ini memang harus dilakukan dan membutuhkan kesiapan jiwa raga para penerbang karena pesawat-pesawat peninggalan Jepang tersebut sebetulnya masuk kualifikasi tidak Iayak lagi diterbangkan. Nyatanya pesawat Cukiu yang diterbangkan Husein mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Lor Yogyakarta sekaligus menewaskan Husein bersama juru teknik Rukidi. Husein meninggalkan seorang istri Ny. Koriyati Mangkuratmaja dengan tiga orang putera yang masih balita.
Sebagai penghargaan negara atas jasa-jasanya selama mengabdikan diri kepada tanah air, maka Husein Sastranegara pangkatnya dinaikan dari Mayor Udara menjadi Komodor Muda Udara (Anumerta) sederajat Kolonel Udara saat ini. Jabatan terakhir Husein adalah sebagai instruktur di Sekolah Penerbang Yogyakarta merangkap Perwira Operasi AURI. Berkat jasa-jasanya, Husein mendapat sejumlah anugerah tanda jasa dan pemerintah seperti Bintang Garuda, Bintang Satyalancana Perang Kemerdekaan RI, Piagam Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI tahun 1957.
Berkat jasa-jasa dan nilai-nilai kepahlawanan yang telah mengabadi kepada Negara dan Bangsa, akhirnya nama Husein Sastranegara diabadikan untuk mengganti pangkalan Udara Andir menjadi Lanud Husein Sastranegara dari tanggal 17 Agustus 1952 berdasarkan Keputusan Kasau No. 76 Tahun 1952. Husein dianggap sebagai salah seorang pejuang dan perintis yang telah meletakkan dasar-dasar pembangunan di bidang penerbangan nasional. Husein gugur sebagai pahlawan dalam usia yang relatif masih muda yaitu 27 tahun dan jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Berhubungan keadaan tanah becek tidak dapat diperkeras dengan sempuma, maka Belanda membuat landasan baru lagi di daerah Cicukang Desa Cibeureum yang kemudian terkenal dengan sebutan Lapangan Terbang Andir, karena tempatnya di daerah Andir pula. Kemudian lapangan terbang ini digunakan untuk kepentingan Angkatan Udara Belanda (Luchvaart Afdelling).
Lapangan terbang dibangun pada tahun 1921, di tanah seluas 45 hektar, semula milik rakyat yang dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunannya masih sangat sederhana, hanya diratakan dan diprkeras tanpa dilapisi aspal. Kemudian peralatan lapangan terbang yang ada di Sukamiskin berangsur-angsur dipindahkan ke Andir. Seiring itu dibangun fasilitas pendukungnya. Beberapa bangunan pendukung saat itu, sekarang tinggal bekasnya, Satu diantara kini menjadi hanggar Wing Materiil 10 yang menghadap ke Utara. Garasi yang sekarang dipakai untuk Sarban, Kantin Perwira Belanda sekarang dipakai untuk ruang pemotretan. Kantor Pos dan gudang panjang bekasnya kini tempat di belakang Tower. Bangunan Staf Komando jaman dahulu sekarang digunakan untuk Senkom.
Pada waktu dibangun batas lapangan terbang Andir sebelah Barat berbatasan dengan desa Cibeureum, sebelah Timur berbatasan dengan sungai Cilimus, sebelah Utara Desa Cibogo, sebelah Selatan rel kereta api daerah Maleber. Beberapa pesawat pertama yang mendarat di lapangan Terbang Andir zaman itu diantaranya Avro, Glenmartin, Jeger, dan Koelhoven.
Penyerahan Lapangan Terbang Andir.
Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia, sebelum penyerahan kedaulatan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan pada tanggal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di kota Gravensande Belanda telah dicapai kesepakatan prinsip mengenai peraturan-peraturan Angkatan Udara di Indonesia yang ada di bawah komando Belanda, setelah peresmian pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Ternyata dalam waktu yang hanya enam bulan, pihak AURI benar-benar menunjukkan kesanggupan serta kemampuannya dalam merealisasikan tugas negara. Setelah berlangsungnya pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949, maka berlangsung pula serah terima pangkalan-pangkalan udara secara berangsur-angsur. PAU Andir merupakan yang pertama diserahterimakan dan Belanda ke pihak AURI, yakni pada tanggal 20 Januari 1950. Hanya saja, serahterima tersebut hanya berlaku bagi PAU Andir sebelah utara. Sedangkan PAU Andir sebelah selatan barn diserahterimakan pada tanggal 12 Juni 1950.
Setelah itu disusul secara berturut-turut penyerahan pangkalan-pangkalan udara yang ada di daerah lain, yakni PAU Padang (1 Maret 1950), PAU/Detasemen Angkatan Udara Banjarmasin (15 Maret 1950), PAU Semplak Bogor (20 Maret 1950), PAU Semarang (23 Maret 1950), PAU Singosari Malang (17 April 1950), PAU Medan dan 121-ste Skadron Pemburu (18 April 1950), PAU Palembang (25 April 1950), PAU Kupang NTT (6 Mei 1950), Pau Morotai Maluku (10 Mei 1950), PAU Makassar (2 Juni 1950), PAU Cililitan serta 20-ste Skadron Angkatan Udara dan 18-de Skadron Pelempar Bom (20 Juni 1950).
Selain itu, diserahkan juga Hoofdkwartier Militaire Luchtvaar dan Jenderal Mayoor Van der EEM kepada Kasau Komodor Udara Suryadarma pada tanggal 27 Juni 1950.
Serahterima Pangkalan Udara Andir sendiri sudah berlangsung ada Maret 1950. Namun masih bersifat terbatas, terutama yang diserahkan adalah lapangan sebelah Utara, meliputi fasilitas penerbangan, termasuk hanggar, tiga pesawat C-47 Dakota, tiga pesawat latih Harvard dan tujuh pesawat Piper Cub (Capung). Sedangkan serah tenima keseluruhan Pangkalan Udara Andir kepada pihak AURI baru dilakukan tiga bulan kemudian yakni pada tanggal 12 Juni 1950. Serah terima dilakukan Mayor E,J. Van Kappen mewakili pemerintah Kerajaan Belanda dan dan pihak AURIS diwakili Mayor Udara Wiweko Soepono yang menjabat sebagai Ketua Sub Panitia Penerimaan Materiil dan Personel dari ML Belanda sekaligus wakil AURI.
Perjuangan Husein Sastranegara
Husein Sastranegara adalah salah seorang diantara tokoh-tokoh yang ikut serta mengabdikan dirinya dalam pembinaan perjuangan bersenjata pada masa-masa revolusi fisik, khususnya di bidang pertahanan udara. Namun sangat disayangkan bahwa semangat pengabdian dan kesediaan berkorban sebagai Patriot Tanah Air tidak bisa berlangsung lebih lama. Almarhum hanya dapat menyumbangkan tenaganya bagi perjuangan kemedekaan Indonesia dalam waktu setahun lebih sedikit ini berarti hanya dalam waktu lima bulan saja saat setelah Angkatan Udara RI resmi didirikan. Meskipun kesempatan untuk berbakti kepada tanah air yang dicintainya begitu pendek, tidaklah menghilangkan nilai-nilai jasa perjuangannya, terutama dalam masa-masa berkecamuknya perjuangan fisik mati-matian menghadapi agresi Belanda.
Semasa hidupnya Husein sastranegara telah memberikan teladan yang tak ternilai kepada generasi penerus, baik di bidang kejuangan, kemauan yang keras dalam menggapai cita-cita, maupun tekadnya yang kuat untuk mengetahui dan menguasai teknologi penerbangan pada masanya. Kekerasan kemauan dan tekadnya serta kerelaan berkorban demi perjuangan telah tercermin dalam diri Husein sastrnegara. Pandangan-pandangannya yang jauh ke depan ikut meletakkan pondasi yang penting untuk pembangunan Angkatan Udara, yang kelak menjadi pancangan kaki kokoh dalam pengembangan suatu kekuatan Angkatan Udara yang modern di kemudian hari.
Siapa sebenarnya Husein Sastranegara.
Husein Sastranegara merupakan anak seorang Pangreh Praja, dilihat dan latarbelakang keluarga, Husein Sastranegara adalah keturunan ningrat Priangan dan golongan menengah Bumiputera. Baik dari pihak ayah maupun ibu, sehingga teralir darah biru ke dalam diri Husein dan 13 saudaranya yang lain. Ayah Husein, Rd. Demang Ishak Sastranegara adalah seorang pangreh praja (Demang) jaman Belanda dan pernah menjabat sebagai Wedana Ujungberung, Pejabat Bupati di Tasikmalaya selama 17 bulan dan Patih Tasikmalaya. Sang ayah adalah putera tinggal Rd. Askad sastranegara, seorang Onder Collecteur Pensiun Sumedang. Sedangkan ibunya, Rd. Katjih Lasminingroem, putri Rd. Wiranata, Onder Collecteur Pensiun Cicalengka. Mereka menikah di Kadungora Garut pada tanggal 16 Oktober 1907.
Beberapa catatan sejarah terdapat perbedaan dalam penulisan tempat dan tanggal kelahiran Husein, namun berdasarkan catatan Yayasan Wangi Demang Sastranegara disebutkan bahwa Husein dilahirkan di Cilaku Cianjur pada tanggal 20 Januari 1919, sebagai anak ke delapan dari 14 bersaudara. Kondisi lingkungan keluarga dan jamannya, terutama dengan status pekerjaan orang tua pejabat di lingkungan pemerintahan Hindia Belanda, memberi pengaruh kuat pada cara pandang dan gaya hidup pemuda Husein. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pada saat itu anak-anak dari keluarga kelas menengah Bumiputera memiliki gaya hidup yang lebih dan untuk menjadi militer tentunya berat untuk menuju ke hal yang ideal.
Cara pandang dan gaya seperti itu tidak selalu berdampak buruk. Justru memberi mamfaat positif pada diri Husein. Misalnya ia sama sekali tidak dihinggapi perasaan rendah diri (inferiority complex) yang biasanya menjadi persoalan tersendiri bagi warga pribumi, terutama jika berhadapan dengan orang-orang Belanda. Bahkan, sisi positif lainnya adalah terbentuknya sosok pemuda Husein dengan cita-cita dan angan-angan yang sangat tinggi. Menurut keterangan istri Bapak Husein, Ny. Koriyati Mangkuratmaja, cita-cita beliau adalah ingin menjadi seorang perwira. Keinginan itu bermula Husein sekolah di Europese Lagere School (ELS) di Bandung setingkat Skolah Dasar (SD) di jaman sekarang. Setelah itu Husein melahjutkan ke Hager Burger School (HBS) di Bandung, yang kemudian pindah ke HBS KWDRI di Jakarta. Begitu lulus HBS tahun 1939, Husein menjadi mahasiswa di Technisch Hoge School (THS) di Bandung (sekarang ITB).
Pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939 berdampak langsung pada nasib sekolah dengan perjalanan hidup Husein. Belanda menduduki Jerman, menyadari posisinya itulah pemerintah Hindia Belanda menerapkan siasat “menarik Simpati” rakyat Indonesia dengan memberi kelonggaran kepada pemuda Indonesia mencoba karier hidupnya di bidang penerbangan militer. Kesempatan tersebut ditanggapi sebagai peluang bear yang menjanjikan oleh Husein. Tanpa ragu Husein pun mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliahnya dan mendaftarkan diri ke sekolah Militaire Luchtvaart School atau disebut juga Luchtvaart Afdeling di Kalijati, Subang tahun 1939. Husein termasuk salah satu dan 10 orang pemuda pribumi yang diterima untuk mengikuti pendidikan perwira penerbang.
Pada tahun itu sebenarnya ada peristiwa sejarah penting yang digabungkannya Sekolah Penerbang yang berlokasi di Kalijati Subang dengan Sekolah Pengintai di Lapangan Andir Bandung. Dari 10 orang siswa yang masuk, hanya lima orang yang berhasil mendapat brevet penerbang, yakni Husein Sastranegara, Ignatius Adisutjipto, Sambodja Hurip, Sulistiyo dan Sujono. Kelima orang siswa penerbang akhirnya menjadi perintis dalam dunia penerbangan di tanah air, selanjutnya proses pendidikan angkatan pertama itu berakhir tahun 1940.
Sayangnya, Husein gagal meneruskan pendidikan penerbang lanjutannya di Bandung. Bersama dengan dua orang rekannya, yakni Sujono dan Sulistyo, Husein hanya mendapat KMB (Kielne Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan peawat-pesawat bermesin tunggal Sedangkan yang mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet) hanya Agustinus Adisutjipto dan Sambudjo Hurip.
Mengawali Karir sebagai Inspektur Polisi
Karena kurangnya syarat tersebut, maka rencana semula untuk memasuki Sekolah Penerbang Darurat di Bandung menjadi terhalang. Kegagalan tersebut menyebabkan Husein ganti haluan dan pada tahun 1941 memasuki pendidikan Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi. Sementara itu Jepang telah ikut mengambil bagian dalam Perang Dunia yang mulai mengadakan ekspansi-ekspansi ke Asia Tenggara dan akhirnya bisa menduduki Indonesia. Setelah kurang lebih dua tahun mengikuti pendidikan inspektur Polisi (Keibuhoo) dan menginat kebutuhan Jepang saat itu, meski belum lulus, Husein langsung diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi.
Husein kemudian dipindahkan menjadi Kepala Polisi di Sukanagara Cianjur dan menjelang proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Husein dipindahkan lagi sebagai Kepala Polisi di Bogor. Bisa dikatakan, karir militer Husein dalam pengabdiannya sebagai pejuang dan kusuma bangsa dimulai dari jalur kepolisian. Menyerahnya balatentara Jepang kepada Sekutu yang kemudian disusul dengan pergolakan revolusi fisik, menjadikan Husein harus menggabungkan diri dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) di Bogor dan menjabat sebagai salah satu komandan pada divisi yang dibentuk oleh Didi Kartasasmita. Tetapi pertentangan yang terjadi antara dirinya dengan atasannya menyebabkan Husein mengundurkan diri dari kesatuan tersebut dan memasuki kesatuan BKR Bandung bagian Resimen Kuda yang belum diorganisir. Perjalanan hidupnya tampaknya menggariskan Husein harus kembali ke jalur penerbangan. Sekitar bulan September-Oktober 1945 Husein dipanggil oleh Suryadi Suryadharma (KSAU) yang waktu itu sebagai pimpinan BKR Penerbangan. Pemanggilan itu berkaitan dengan kebutuhan mengurus Lapangan Udara (Lanud) Andir (sekarang Lanud Husein Sastranegara) yang baru saja berhasil direbut para pejuangan RI. Husein dipercaya untuk mengurus Lapangan Uara Andir.
Hijrah Ke Yogyakarta
Sayangnya, tugas itu belum sempat dilaksanakan oleh Husein. Karena, baru saja Husein melapor ke Kasau Suryadarma, beredar kabar bahwa Lapangan Udara Andir dapat dikuasai kembali oleh tentara Jepang dan pimpinan diambil alih oleh Inggnis melalui Jepang. Tidak saja Lapangan Udara Andir, Bandung pun harus ditinggalkan para pejuangan RI, termasuk Husein di dalamnya, Husein akhirnya ikut hijrah ke Ibu Kota perjuangan Yogyakarta dan turut bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan.
Di Yogyakarta inilah mulai disusun dan dibina pertahanan kekuatan udara. Pada waktu itu tenaga penerbang dirasakan sangat dibutuhkan. Ketika sekolah penerbang pertama kali dibuka, Husein termasuk salah seorang dan siswanya. Mereka berasal dan berbagai pendidikan mulai dari pemilik brevet sampai kepada mereka yang belum pernah terbang sama sekali. Dengan bermodalkan tekad yang sama, berusaha untuk ikut serta menjadi pejuang dalam memperkuat pertahanan tanah air tercinta.
Pada tanggal 9 April 1946 TKR bagian Penerbangan statusnya diubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang berdiri sendiri. Setelah selesai mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) di Yogyakarta, Husein langsung diangkat sebagai instruktur di sekolah penerbang tersebut merangkap sebagai perwira operasi AURI.
Pada periode tahun 1945-1946 AURI masih sibuk dengan “penerbitan” materiil yang berupa pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang dan sementara waktu belum ada upaya yuntuk melakukan operasi-operasi yang bersifat ofensif penyerangan. Konsolidasi ke dalam dilakukan dengan mengadakan hubungan-hubungan udara melalui pangkalan-pangkalan yang sudah dikuasai RI. Dalam hubungan inilah Husein sangat aktif dalam menerbangkan dan mencoba pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang seperti Churen (sering disebut juga dengan Cureng), Cukiu. Dan pesawat pembom Hayabusha Diponogoro 1 Pada tanggal 21 Mei 1946 Husein telah mengadakan penerbangan formasi dari Lapangan Udara Maguwo di Yogyakarta menuju lapangan Udara Gorda di Serang. Pada tanggal 10 Juni 1946 penerbangan formasi lima buah pesawat Churen dan Yogyakarta ke Cibeureum Tasikmalaya dalam rangka peresmian pembukaan lapangan terbang tersebut juga penerbangan lebih jauh ke Barat dilakukannya pada tanggal 23 Juni 1946 sampai ke lapangan Gorda di Banten (Serang). Dengan pesawat Pembom Diponogoro 1 Husein pernah pula terbang dari Maguwo Yogyakarta ke Maospati (Madiun) dan bahkan pada tanggal 13 September 1946, Husein masih menerbangkan pesawat Churen untuk menaburkan bunga dalam upacara pemakaman Tarsono Rujito di Salatiga.
Gugur Saat Test Flight
Takdir Tuhan Yang Maha Esa telah menggariskan Husein. Belum juga tahun 1946 berakhir, Husein telah dipanggil menghadap-Nya. Waktu itu tanggal 26 September 1946 dengan pangkat terakhir sebagai Mayor Udara. Sebelum kejadian sebenarnya telah ada suatu isyarat jelek yang diterima oleh kakak tertuanya dalam sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, Husein dengan salah seorang saudara laki-lakinya, yakni Rd. Ibrahim Satranegara, terapung-apung hanyut di tengah-tengah gelombang lautan yang deras. Akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan kedua orang putera Rd. Ishak Sastranegara ini gugur dalam perjuangan bangsanya.
Pada akhir September 1946 Husein mendapatkan tugas melakukan Test Flight (uji terbang) sebuah pesawat Chukiu di atas Kota Yogyakarta. Pesawat rongsokan peninggalan tentara Jepang itu rencananya akan digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri RI Sutan Syahrir menuju Malang. Test Flight saat ini memang harus dilakukan dan membutuhkan kesiapan jiwa raga para penerbang karena pesawat-pesawat peninggalan Jepang tersebut sebetulnya masuk kualifikasi tidak Iayak lagi diterbangkan. Nyatanya pesawat Cukiu yang diterbangkan Husein mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Lor Yogyakarta sekaligus menewaskan Husein bersama juru teknik Rukidi. Husein meninggalkan seorang istri Ny. Koriyati Mangkuratmaja dengan tiga orang putera yang masih balita.
Sebagai penghargaan negara atas jasa-jasanya selama mengabdikan diri kepada tanah air, maka Husein Sastranegara pangkatnya dinaikan dari Mayor Udara menjadi Komodor Muda Udara (Anumerta) sederajat Kolonel Udara saat ini. Jabatan terakhir Husein adalah sebagai instruktur di Sekolah Penerbang Yogyakarta merangkap Perwira Operasi AURI. Berkat jasa-jasanya, Husein mendapat sejumlah anugerah tanda jasa dan pemerintah seperti Bintang Garuda, Bintang Satyalancana Perang Kemerdekaan RI, Piagam Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI tahun 1957.
Berkat jasa-jasa dan nilai-nilai kepahlawanan yang telah mengabadi kepada Negara dan Bangsa, akhirnya nama Husein Sastranegara diabadikan untuk mengganti pangkalan Udara Andir menjadi Lanud Husein Sastranegara dari tanggal 17 Agustus 1952 berdasarkan Keputusan Kasau No. 76 Tahun 1952. Husein dianggap sebagai salah seorang pejuang dan perintis yang telah meletakkan dasar-dasar pembangunan di bidang penerbangan nasional. Husein gugur sebagai pahlawan dalam usia yang relatif masih muda yaitu 27 tahun dan jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
0 komentar
Posting Komentar