Berita/Artikel : H. An-An Fauzi
Sumber : SKU Jurnalika
CianjurNEWS
Direktur AF, Laila Sukmadevi, dalam keterangan pers-nya, masih dalam internet itu menyatakan, penelitian dilakukan selama enam bulan, Juli s/d Desember 2006 dengan 412 responden yang berasal dari 13 SMP dan SMA berstatus negeri maupun swasta di Kec. Cianjur dan Cipanas.
Disebutkannya total responden yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpasangan hanya 18,3 %. Sedangkan lebih dari 60 % telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Dari jumlah ini 12 % menggunakan metode coitus interuptus dan selebihnya memilih alat kontrasepsi.
Materi hasil riset ini sontak diekspos media massa pada awal 2007. Bahkan terdapat pula yang berkodekan “ant” yang biasanya diartikan Kantor Berita (KB) Antara. Namun Saef Lukman, kontributor KB Antara di Cianjur, membantah merilis hasil riset AF itu. “Saya tidak bertemu dengannya,” jawab Saef, belum lama ini.
Pada ekspose lainnya yang sama-sama memuat hasil riset AF itu terdapat pula di akhir naskahnya bertuliskan : Nina Evawaty Adikara, Jl. BRI No. 5 Kompleks BRI Cipete Selatan Jakarta 12410 Ph 0811863821 Email : eva adikara@yahoo.com. Pencantuman identitas diri di akhir naskah biasanya sebagai pelaku/periset atau penyaji hasil riset. Tetapi ketika Eva dikonfirmasi atas hasil riset tersebut, ia berkata lain.
Menurutnya, memang ia memiliki yayasan bernama Annisa Foundation. Tetapi yayasannya bergerak di bidang anak asuh. “Banyak yang menanyakan hal itu kepada saya, namun saya tidak tahu menahu, apalagi melakukan penelitian,” kata Eva, ketika dihubungi melalui telepon selulernya.
Bahkan, sebutnya, ia sendiri telah mengakses internet yang menayangkan hasil riset prilaku seks pelajar Cianjur yang mengatasnamakan AF. “Saya sudah melihatnya di geogle karena penasaran banyak yang telepon saya untuk minta data, tapi memang bukan AF yang kami kelola yang melakukannya,” paparnya. Ia tidak menjelaskan apa ada lembaga lain yang bernama sama dengan nama yayasan yang dipimpinnya.
Agaknya patut dipertanyakan ketika disebutkan 42,3% siswa (SMP/SMA) di kabupaten ini melakukan hubungan seks pra nikah. Sebab data di Dinas Pendidikan & Kebudayaan (P&K) Kab. Cianjur jumlah siswa SMA 16.092 orang dan siswa SMP sekira 75.000 orang atau total 91.092 orang. Jika saja jumlah siswa berjenis kelamin perempuan 50% dari total siswa (SMP/SMA) atau sebanyak 45.546 orang, dan memakai asumsi 42,3%, maka terdapat 19.265 siswa, maaf, yang tidak perawan lagi.
“Jika out put – nya sebesar itu rasanya tidak mungkin. Validitas data, metodelogi, maupun nawaitu atau niatnya patut dipertanyakan,” sebut Kepala Urusan Agama Islam (Urais) Departemen Agama (Depag) Kab. Cianjur, Hifni, di ruang kerjanya.
Tetapi menurutnya, terlepas validitas data, metodelogi maupun nawaitu- nya itu, hasil penelitian hendaknya dijadikan trigger atau pemicu agar masyarakat mewaspadai fenomena seperti itu. Sebab faktanya memang prilaku yang mengarah pada free seks (seks bebas) di kalangan pelajar sangat memprihatinkan.
Hal senada diungkapkan pengasuh rubrik “Curhat” radio Nurani Cianjur, Asep Saefurohman. Pada rubrik yang diasuhnya Jum’at malam setiap minggu ini banyak informasi masuk seputar kehidupan seks para pelajar. Selama dua jam mulai 21.00 s/d 23.00 WIB on air sekira 40 – 50 short message system (sms) dan 2- 5 telepon, ditambah sekira 7 – 8 via surat dalam seminggu, sebanyak 70 % para pelajar SMP/SMA, dan dari jumlah ini mayoritas berbicara seputar pengalaman kehidupan seks mereka di luar kaidah agama.
Dari curahan hati alias curhat itu di kalangan pelajar yang namanya kiss-kissan atau berciuman nampaknya sudah lazim atau lumrah. “Bahkan banyak pula yang terang - terangan mengaku sudah melakukan hubungan seks pra nikah. Tentunya ini sangat mengerikan,” ujarnya.
Fenomena pengeksplotasian organ reproduksi sebelum waktunya di kalangan pelajar, jelas Hifni, dampak pergeseran nilai di masyarakat. Nilai kebebasan, hedonisme, permisif, yang dibawa arus globalisasi melunturkan tata nilai yang hidup di masyarakat, termasuk norma agama. Tayangan yang disajikan media televisi saat ini merupakan instrumen yang mempercepat pelunturan tata nilai (value) atau kaidah yang diindahkan di masyarakat. “Para akhli menyebutkan bahwa 90% materi siaran yang disuguhkan media layer kaca sama sekali tidak mendidik. Namun di pihak lain justru televisi diposisikan sebagai tuhan kedua,” tegasnya.
Banyak cara guna mengeleminir atau setidak - tidaknya meminimalisir ekses globalisasi. Mulai dari peningkatan peran keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, hingga ormas Islam. “Baik di tingkat nasional maupun lokal hendaknya ormas Islam segera melakukan tindakan agar generasi muda kita tidak larut atau terjerumus pada prilaku melenceng seperti seks bebas itu,” pintanya.
Pada aspek pendidikan keagamaan di sekolah umum pun perlu ditambah lagi. Saat ini di sekolah umum durasi pendidikan keagamaan sangat minim, hanya dua jam pelajaran atau 80 menit dalam seminggu. “Di Sukabumi saja jam pelajaran agama ini lebih dari dua jam, tapi entah mengapa di Cianjur masih tetap dua jam , “ sesalnya.
Pendapat Hifni menyangkut perlunya penambahan durasi pendidikan agama Islam di sekolah umum rupanya diamini
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Cianjur, KHR. Abdul Halim. Bahkan pihaknya berencana mengundang para kepala SMA/SMK untuk merumuskan pembinaan siswa termasuk membicarakan seputar jam pelajaran pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah.
Dinilainya durasi pendidikan agama di sekolah umum relatif minim sehingga perlu adanya penambahan. Dengan minimnya durasi pendidikan agama, para pelajar jadi sedikit pula menginternalisasi nilai-nilai agama.
Adanya kasus amoral seperti hubungan seks pra nikah di kalangan pelajar, menurut pimpinan pondok pesantren Al-Muthmainah Bojongherang ini, tentunya merupakan aib bagi Cianjur. Terlebih Cianjur tengah khusuk-khusuknya membina moral masyarakat melalui gerakan pembangunan masyarakat ber-akhlakul karimah (gerbang marhamah), seperti tertuang dalam peraturan daerah (perda) No. 3/2006.
Tetapi urusan pembinaan moral para pelajar atau siswa agar tidak berprilaku melenceng, menerabas nilai moral dan sosial, lanjutnya, bukan urusan lembaga pendidikan saja. “Semua pihak harus terlibat, mulai dari lingkungan sekolah, keluarga, para ulama, dan sebagainya, karena para pelajar menjadi pewaris di masa mendatang,” ucapnya.
Sementara itu Sekretaris Yayasan Humaniora Cianjur, Hilman Syaukani, mengusulkan, untuk meminimalisir prilaku yang mengarah pada tindakan amoral, hendaknya MUI Cianjur bersama elemen lainnya membentuk semacam satuan tugas (satgas) yang berfungsi memantau bahkan merazia para pelajar yang berkeluyuran di luar jam sekolah. Tempat - tempat tertentu, seperti warung internet (warnet) atau pasar swalayan, mall, merupakan tempat mangkal mereka yang berpotensi mengarah pada tindakan amoral. Di warnet ini disinyalir para pelajar mengakses gambar adegan “panas” sudah bukan rahasia lagi.
APA KATA MEREKA :
Pokoknya jangan khawatir. Upaya pemupukan rohani para siswa secara intensif kami lakukan. Pun menyangkut kedisiplinan, seperti penggunaan telepon seluler (ponsel). Jika terdapat siswa yang ngutak-ngatik ponsel di lingkungan sekolah kami merazianya, karena kami paham benar prilaku melenceng seperti seks pra nikah di kalangan pelajar terjadi salah satunya ekses dari kemajuan teknologi seperti ponsel itu. Tapi apa pun upaya yang dilakukan sekolah takkan efektif jika saja pengawasan dan pembinaan di lingkungan keluarga dan masyarakat tetap lemah. Membangun moral siswa harus bersama-sama.
Saya selaku orang tua acapakali mewanti-wanti kepada anak – anak agar sering mengikuti pengajian dan mengetatkan jam belajar di rumah. Karena mengandalkan pendidikan di sekolah tidak memadai. Terlebih pendidikan agama di sekolah lebih mengedepankan aspek kognitif atau pengetahuan ketimbang psikomotor, behavioral atau tingkah laku. Lagi pula saya paham benar, anak-anak lebih berada di lingkungan keluarga dan masyarakat ketimbang sekolah. (PK-4)
SISWA SMAN II CIANJUR, MEIDA LESTARI : Ga, ah, aku tidak percaya dengan hasil penelitian itu. Mana mungkin sebesar itu teman-teman melakukan hubungan seks pra nikah. Memang mungkin saja ada, tapi jumlahnya relatif kecil. Sejujurnya, ada sich, dorongan seperti itu, kan saya juga normal. Tapi itu semua bisa dilupakan dengan berbagai kegiatan. Baik di lingkungan sekolah atau di lingkungan tetangga. Kegiatan olahraga dengan tetangga di kampung tak pernah ketinggalan. Jadi urusan yang “begitu-begitu” terlupakan.
Saya berpendapat, perlu ada inovasi atau kreasi dalam memberikan penyuluhan moral keagamaan bagi kalangan pelajar. Tidak bisa melulu memakai cara konvensional, seperti pengajian di mesjid atau madrasah. Diperlukan pola penyuluhan yang memiliki daya tarik bagi kaula muda. Maaf, kalau penyuluhan melulu seperti itu, biasanya kaula muda seperti pelajar jadi malas-malasan mengikutinya.
0 komentar
Posting Komentar